Kamis, 15 April 2010

Insight on Brand Management Series

Do Your Brand Suffer Double Jeopardy ?

Anda mungkin sedikit heran ketika saya mencantumkan judul film dalam tulisan kali ini. Tentu saja, saya tidak akan mengulas film yang dibintangi oleh Bruce Beresford, Tommy Lee Jones, dan Ashley Judd. Namun, setidaknya film tersebut memberikan "pencerahan" kepada saya bahwa hal yang sama terjadi dalam bisnis. Hal ini mungkin sedikit janggal terdengarnya. Namun, fenomena Double Jeopardy (DJ) memang sesuatu yang widely happened but little known, baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi. Oleh karena itu, ada baiknya kita sedikit mengulas originasi teori DJ ini.


Fenomena ini pertama kali dikaji oleh sosiolog dari Columbia University (AS), Stephen McPhee. Dalam studinya terhadap pembaca komik strip dan pendengar radio, McPhee menemukan bahwa komik strip yang lebih populer lebih banyak dibaca dan lebih disukai ketimbang komik strip yang kurang populer. Demikian halnya dengan dengan perilaku pendengar radio yang menunjukkan sikap positif terhadap stasiun radio yang yang lebih populer.

Hal dasar inilah yang menjadi landasan bagi McPhee untuk "melabeli" fenomena ini dengan istilah DJ. Bagi McPhee, DJ merupakan kosakata yang merepresentasikan dua ketidakadilan yang dialami oleh sebuah objek yang kurang populer: sedikit populasi yang melibatkan diri dalam aktivitas yang dilakukan objek dan rendahnya kesukaan (liking) terhadap objek tersebut. Guna mempertajam hipotesis McPhee, Andrew Ehrenberg, seorang Professor Marketing dari London South Bank University (Inggris) mengkajinya dalam spektrum marketing.

Uniknya, Ehrenberg juga menemukan pola yang sistematis dengan temuan McPhee. Ehrenberg bahkan melakukan sampel yang lebih besar dan menemukan fenomena yang sama terjadi dalam berbagai aspek seputar marketing, mulai dari brand choice, store choice, attitudinal measures for packaged goods, program choice, channel choice, audience appreciation in the TV media, hingga industrial goods (Februadi, 2004). Untuk menekan variabilitas data, studi Ehrenberg dilakukan di 50 negara. Selanjutnya, apa yang menjadi penyebab fenomena ini dapat terjadi?

Ada baiknya kita menelisik hal ini dari perspektif psikologi konsumen dan strategi pemasaran yang digunakan oleh pemilik merek tersebut. Dalam perspektif psikologi konsumen, dikenal dengan Mere Exposure Effect Theory. Secara sederhana, teori ini menekankan pentingnya eksposur dalam membentuk preferensi audiens. Jika hal ini kita konversikan dalam konteks pemasaran praktis, besaran jumlah eksposur (berbagai program pemasaran) akan berdampak secara sistemik bagi pembentukan sikap positif konsumen.

Misalnya, jika perusahaan menampilkan iklan dengan frekuensi tinggi, maka secara inkremental akan meningkatkan sikap positif terhadap konsumennya. Sikap positif ini mencakup beberapa komponen psikologis, seperti pengetahuan terhadap produk yang meningkat, bertambahnya rasa ingin tahu (curiosity) konsumen sehingga mendorong keterlibatan yang tinggi (high involvement), menciptakan preferensi relatif merek perusahaan terhadap merek pesaing, dan akhirnya membeli merek tersebut. Skema ini nampaknya begitu sederhana, namun kompleksitas dan dilema akan muncul ketika perusahaan terkendala oleh anggaran pemasaran yang terbatas.

Dalam konteks makroekonomi, struktur pasar juga turut berkontribusi atas fenomena DJ ini. Dalam struktur pasar yang hyper-competitive yang dicirikan oleh banyaknya "pemain-pemain besar" dan marketing budget yang eksplosif pula, secara kolektif "para Goliath" ini juga ikut menentukan besaran market share di industri tersebut. Tepatnya, teori Darwin berlaku dalam situasi seperti ini dimana para "pemain besar" akhirnya menggusur "pemain-pemain kecil". Hal ini cukup logis. Dengan basis Mere Exposure Effect Theory, proses forgetting akan terjadi. Secara natural, program promosi yang dilakukan secara berulang-ulang akan meningkatkan variabel kognitif psikologi konsumen: meningkatkan pengetahuan terhadap sebuah merek dan merek yang lainnya mengalami proses pelupaan.

Kondisi nampaknya tidak adil bagi perusahaan yang "ditakdirkan" dengan anggaran marketing yang terbatas. Sama sekali tidak, justru kondisi ini yang memicu kreativitas pemasar di perusahaan kecil. Rather than competing with big player, it's better to focus on specific market segment. Be nich player, mungkin itu kata kuncinya. Sebagai niche player, marketing effort memang ditujukan untuk segmen spesifik dengan kebutuhan khusus yang tidak terlayani oleh perusahaan lain. Secara karakteristik, segmen ini mau dan mampu untuk membayar lebih demi memenuhi kebutuhan uniknya. Jika jeli, perusahaan dapat menggarap segmen ini dan memperoleh cash flow yang signifikan.

Opsi kedua, perusahaan dapat menggarap segmen geografis tertentu. Dengan menggarap segmen dalam geografis tertentu, perusahaan akan lebih cost-effective dalam mengelola budget yang terbatas tersebut. Dengan memodifikasi beberapa komponen marketing mix seperti printed advertising, point-of-purchase promotion, atau visual merchandising sesuai dengan kondisi lokal tersebut akan menghasilkan efektivitas yang lebih tinggi. Low budget high impact marketing strategy. Begitu istilahnya.

Banyak kisah sukses tentang nich player ini. Mobil Bentley adalah salah satu kisah suksesnya. Daripada "berkelahi" di pasar yang telah dijejali oleh merek-merek Honda, Toyota, General Motors atau Mitsubishi, Bentley lebih memfokuskan untuk memproduksi kategori exclusive high end mobile. Dengan mematok harga yang lebih tinggi dan hanya memproduksi secara kecil (hanya sekitar 40 mobil setahun), Bentley berhasil menguasai kategori segmen mobil ekslusif yang memang ditujukan untuk kalangan jetset.

Kisah manis berikutnya datang dari Baidu. Dengan memposisikan diri sebagai geographical player, mesin pencari (search engine) dari Cina ini berhasil meredam dominasi raksasa seperti Google atau Yahoo!. Secara sekilas, Baidu mengadopsi tampilan yang mirip dengan Google : halaman depan yang kosong dan warna putih dimana-mana. Namun, kecerdikan Baidu dapat dilihat dengan kuatnya karakter lokal setempat, dengan menggunakan huruf Cina. Hasilnya? Dalam periode 2006-2007, pendapatan yang diperoleh Baidu mencapai US 228 juta.

Maka, ada baiknya Anda memeriksa apakah merek Anda "terjangkiti" DJ. Jika memang demikian, jangan berkecil hati dan kreatiflah. Contoh sukses diatas adalah fakta terbantahkan tentang dahsyatnya kualitas dalam meramu strategi marketing yang hebat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar